MAMUJU, Mediasuaranegeri.com – Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Barat, Asnawi yang akrab disapa Awi’ Mendez menyayangkan pernyataan Wakil Gubernur Sulbar, Salim S. Mengga, dalam kunjungannya ke Dusun Lembah Harapan, Desa Jengeng Raya, Kabupaten Pasangkayu, pada Selasa 13 Mei 2025 lalu, terkait sengketa agraria antara warga dengan perusahaan sawit.
Direktur Eksekutif WALHI Sulbar, Awi Mendez mengatakan pernyataan tersebut dinilai menunjukkan sikap seakan Pemerintah Provinsi tak berdaya menghadapi dominasi korporasi, padahal seharusnya pemprov mampu mengambil langkah konkret dan tegas tanpa harus menyerahkan sepenuhnya penyelesaian ke pemerintah pusat.
Awi juga menegaskan, dalam sistem pemerintahan yang menganut otonomi daerah, pemerintah provinsi memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan menjaga wilayahnya dari segala bentuk pelanggaran hukum, termasuk pelanggaran agraria dan lingkungan oleh perusahaan besar seperti yang terjadi di Pasangkayu.
“Wagub mengatakan bahwa akan mendatangi siapa pun di Jakarta. Tapi mengapa tidak dimulai dari langkah tegas di provinsi ini terlebih dahulu?, Ada banyak instrumen kewenangan yang bisa digunakan oleh Pemprov Sulbar, namun justru seakan melempem di hadapan korporasi besar,” kata Direktur WALHI Sulbar kepada media ini, Kamis malam 15 Mei 2025.
Lanjut Awi’, pernyataan Wagub yang menyarankan warga agar tidak membenci pengusaha selama ‘bekerja dengan benar’, terdengar banal di tengah situasi nyata di lapangan dimana hampir seluruh perusahaan sawit di Pasangkayu diduga kuat merambah wilayah di luar izin HGU. Bahkan, sebagaimana disampaikan tokoh masyarakat, tumpang tindih antara HGU dengan hak milik warga serta fasilitas umum seperti sekolah dan kantor polisi menjadi bukti konkret bahwa pelanggaran sudah sistemik dan terang-terangan.
“Bagaimana mungkin kita bicara soal pengusaha bekerja dengan benar, jika nyatanya 1.372 bidang tanah milik warga ditumpangi HGU, desa-desa masuk wilayah konsesi, dan bahkan tanah untuk fasilitas publik pun masuk wilayah HGU?, Bukankah ini bentuk kesewenang-wenangan yang sudah seharusnya dihentikan dengan tindakan nyata dari pemerintah?,” tegas Awi’.
Selain itu, Awi’ juga mengatakan bahwa pernyataan Bupati Pasangkayu yang menyebut kunci penyelesaian ada pada gubernur dan wakil gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat juga memperlihatkan inkonsistensi peran pemda. Justru pemprov seharusnya memimpin proses penegakan hukum dan perlindungan hak-hak rakyat, bukan mengalihkan beban ke pemerintah pusat atau perusahaan di Jakarta.
“Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak konflik agraria di Sulbar termasuk di Pasangkayu berakar dari lemahnya pengawasan dan kecenderungan pembiaran oleh otoritas daerah. Jika pemerintah daerah terus menempatkan diri sebagai pihak yang tidak berdaya, maka tidak ada harapan penyelesaian berpihak pada rakyat,” lanjut Awi’.
Lebih lanjut, WALHI Sulbar mendorong agar Pemprov segera:
1. Melakukan audit menyeluruh terhadap semua HGU di Kabupaten Pasangkayu, khususnya yang diduga kuat merambah kawasan hutan lindung dan tanah masyarakat.
2. Menghentikan sementara seluruh aktivitas perusahaan sawit yang terbukti melanggar batas izin atau merampas tanah rakyat.
3. Mengambil tindakan administratif maupun hukum terhadap pejabat yang terbukti terlibat dalam praktik kolusi dengan korporasi.
4. Mendorong revisi dan evaluasi izin perusahaan sawit yang wilayah konsesinya menabrak hak-hak rakyat dan kawasan hutan lindung.
Menurut Awi’, dalam situasi krisis agraria ini, rakyat tidak butuh sekadar kunjungan pejabat atau retorika mencari solusi. Yang dibutuhkan adalah tindakan konkret, tegas, dan berpihak kepada keadilan ekologis dan hak asasi warga negara.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Barat menyerukan agar Pemerintah Provinsi segera mengambil posisi berpihak kepada rakyat, bukan justru menormalisasi situasi ketimpangan struktural yang selama ini dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar. Pulihkan Sulbar Pulihkan Indonesia, tandas Awi’ selaku Direktur Eksekutif Walhi Sulbar.(*)
***
