PASANGKAYU, Mediasuaranegeri.com — Dugaan praktik penambangan galian C ilegal oleh PT Passokorang di Desa Rondomayang, Kabupaten Pasangkayu, semakin memicu kemarahan publik. Aktivitas tambang yang dituding merusak ekosistem pesisir dan mengancam keselamatan warga itu menjadi sorotan setelah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Pasangkayu, beberapa hari lalu.
Aksi yang berlangsung keras itu menuntut pemerintah daerah dan DPRD untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi bertindak tegas menegakkan aturan. PMII menilai kegiatan tambang dilakukan tanpa izin legal yang sah, sehingga patut diduga merupakan penambangan ilegal yang melanggar undang-undang.
Ketua PMII Pasangkayu, Khalil Jibran, menegaskan bahwa kerusakan lingkungan di Rondomayang harus ditangani dengan langkah konkret, bukan hanya janji.
“Kami menagih komitmen penegakan aturan. Lingkungan sudah rusak, pasir sudah diangkut. Harus ada tindakan nyata untuk pemulihan. Pembiaran atas nama investasi adalah kejahatan. Jika DPRD tidak berani bersikap, itu sama saja mengkhianati rakyat,” tegasnya di hadapan legislator.
Dalam dialog tindak lanjut di ruang Komisi I DPRD Pasangkayu pada 26 November 2025 lalu, yang dihadiri anggota DPRD Muh Dasri, S.Pd., M.Ap, Edhy Perdana Putra, pihak Polres Pasangkayu serta Dinas Kelautan dan Perikanan dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), fakta penting terungkap.
Menurut penjelasan dinas terkait, PT Passokorang tidak memiliki dokumen izin lingkungan untuk titik lokasi tambang galian C di Rondomayang.
Pengakuan ini memperkuat dugaan bahwa aktivitas tersebut melanggar hukum dan mestinya dihentikan serta diproses sesuai ketentuan undang-undang.
Dalam pertemuan itu, perwakilan perusahaan disebut menyatakan kesiapan melakukan rehabilitasi pesisir dan penanaman mangrove berdasarkan isi surat resmi yang dikirim dalam bentuk dokumen PDF melalui instansi terkait.
Namun PMII meragukan keseriusan komitmen tersebut, mengingat kerusakan sudah terjadi dan tidak ada kejelasan sanksi terhadap perusahaan.
“Pasir yang diambil tidak boleh hanya jadi barang bukti. Harus dikembalikan untuk kepentingan masyarakat dibuat menjadi beton pengaman pantai atau breakwater untuk menahan abrasi. Prosesnya wajib terbuka dan melibatkan warga,” tegas Khalil.
Anggota DPRD Dasri dan Edhy menyatakan siap mengawal proses pemulihan dan memastikan komitmen perusahaan tidak hanya berhenti sebagai janji.
Meski demikian, publik menilai pemerintah daerah lamban sejak awal aktivitas tambang berjalan. Sejumlah warga menyebut kerusakan telah berdampak pada ekosistem sungai dan pesisir, yang berpotensi memicu abrasi dan longsoran di area pemukiman.
“Jika benar tidak memiliki izin resmi, itu melanggar UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mewajibkan setiap pelaku usaha memiliki IUP dan Amdal,” singkatnya kepada media ini.
Hingga berita ini dipublikasikan, PT Passokorang belum memberikan klarifikasi resmi atas tudingan yang berkembang.
Kasus ini menjadi cerminan lemahnya kontrol pemerintah terhadap aktivitas pertambangan di daerah. Bila penegakan hukum hanya keras kepada rakyat kecil, tetapi longgar untuk korporasi, maka itu adalah bentuk ketidakadilan lingkungan yang nyata.
Dirman
***
