MAMUJU, SUARA NEGERI – Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 17–18 Juni 2025 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 5,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 4,75%, dan Lending Facility sebesar 6,25%.
Keputusan ini konsisten dengan kebijakan moneter yang pro-stabilitas dalam menjaga inflasi dan nilai tukar, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Bank Indonesia menegaskan penguatan strategi stabilisasi nilai tukar Rupiah dilakukan secara menyeluruh, termasuk melalui intervensi di pasar Non-Deliverable Forward (NDF) luar negeri, serta pasar spot dan DNDF domestik.
Selain itu, BI juga terus membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder guna menjaga stabilitas pasar keuangan.
“Operasi moneter yang pro-pasar terus diperkuat untuk mendukung transmisi penurunan suku bunga, menjaga likuiditas, memperdalam pasar uang dan valas, serta mendorong masuknya aliran modal asing,” ujar pernyataan resmi Deputi BI.
Di sisi kebijakan sistem pembayaran, BI mempercepat digitalisasi melalui implementasi QRIS antarnegara yang menjangkau Jepang (untuk transaksi outbound) dan uji coba bersama Tiongkok. Kebijakan tarif Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan kartu kredit juga diperpanjang hingga 31 Desember 2025.
Terkait Prospek Ekonomi Nasional 2025, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional 2025 akan berada pada kisaran 4,6% hingga 5,4%, dengan defisit transaksi berjalan 0,5%–1,3% terhadap PDB, inflasi 2,5% ± 1%, dan pertumbuhan kredit 8%–11%.
Sementara itu, perekonomian Sulawesi Barat pada triwulan I 2025 tumbuh sebesar 4,83% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat 6,65% (yoy), dan sedikit di bawah rata-rata nasional 4,87% (yoy).
Perlambatan terutama dipengaruhi oleh penurunan kinerja sektor konstruksi, akibat menurunnya realisasi belanja modal APBN dan APBD sejalan dengan kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat. Namun demikian, terdapat sektor-sektor yang tetap memberikan dorongan positif, seperti industri pengolahan (CPO dan turunannya), serta administrasi pemerintahan terkait belanja pegawai dan THR saat Idul Fitri.
Di sisi lapangan usaha, sektor pertanian dan perkebunan tetap tumbuh positif, namun produksi perikanan dan hortikultura mengalami pelambatan. Sementara itu, dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan ekspor CPO, meski investasi (PMTB) mengalami tekanan.
Kemudian, Inflasi tahunan Sulawesi Barat per Mei 2025 tercatat 3,21% (yoy), lebih tinggi dari inflasi nasional sebesar 1,60% (yoy). Deflasi bulanan -0,22% (mtm) terutama dipicu oleh penurunan harga tomat, ikan laut, cabai rawit, dan bawang merah akibat terjaganya pasokan pasca-Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN).
Namun, Sulawesi Barat menjadi provinsi dengan inflasi tahunan tertinggi kedua di kawasan Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua), setelah Papua Pegunungan dan disusul Sulawesi Tengah.
Dari sisi keuangan, stabilitas sistem keuangan Sulawesi Barat tetap terjaga. Dana Pihak Ketiga (DPK) per Mei 2025 tumbuh 8,69% (yoy) menjadi Rp6,44 triliun. Sementara itu, kredit yang disalurkan tercatat Rp13,03 triliun atau tumbuh 2,69% (yoy), masih didominasi kredit konsumsi dan modal kerja. Rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan tercatat 2,69%.
Namun demikian, kredit UMKM mengalami penurunan -3,15% (yoy), terutama pada sektor perdagangan. Kredit Usaha Rakyat (KUR) tumbuh 3,57%, sedangkan NPL kredit UMKM masih relatif tinggi di angka 4,71%.
Pembiayaan syariah juga mengalami kontraksi sebesar 9,82% (yoy), dengan NPL mencapai 8,47%, menunjukkan pentingnya penguatan pengawasan kualitas kredit UMKM di sektor syariah.
***
